Sabtu, 08/12/2018
Sabtu, 08/12/2018
Sabtu, 08/12/2018
SAMARINDA - Kaltim memasuki fase kritis soal dampak ancaman dari kegiatan eksplorasi pertambangan, khususnya batubara. Ungkapan ini terlontar setelah ada 32 orang meninggal di lubang bekas galian tambang. Belum lagi dampak lainnya, Desa Mulawarman yang nyaris ditinggalkan penduduknya. Nyatanya ancaman tak berhenti pada dua bahaya itu.
Ancaman yang jelas terjadi baru-baru ini, longsor di Kecamatan Sangasanga Kabupaten Kutai Kartanegara. Ternyata di Kaltim masih ada ratusan desa yang mengalami ancaman serupa.
Berdasarkan riset dari Pemerhati Lingkungan Niel Makinudin bersama The Nature Conservancy (TNC) Kaltim ditemukan fakta setidaknya ada 224 desa, dari total 841 desa di Kaltim yang masuk dalam kategori beresiko tinggi. Angka ini ditenukan setelah ditemukan adanya kegiatan pertambangan yang berada tidak jauh dari lokasi pemukiman warga.
“Ini seolah kita sedang duduk menunggu giliran saja. Anak siapa berikutnya ini. Hidup atau mati,” ujar Niel kepada Koran Kaltim, kemarin.
Dari 224 desa tersebut, secara umum paling banyak berada di kawasan Kabupaten Kutai Kartanegara.
Karena berdasarkan catatannya, diketahui hampir 600 izin usaha pertambangan terdapat di Kukar.
“Ini baru yang di desa, belum yang kelurahan di perkotaan,” paparnya.
Sebagai solusi, Niel menyarankan Pemprov Kaltim segera melakukan audit menyeluruh terhadap semua izin pertambangan tersebut. “Ya, audit terhadap kinerja pertambangan terutama terkait safety kepada masyarakat dan safety kepada lingkungan,” ungkapnya.
Audit ini, kata Niel bisa dilakukan oleh LSM atau perguruan tinggi. Audit dari tim teknis pertambangan dan dari tim sosial. Yang intinya nanti mendiagnosis anatomi dari bisnis pertambangan di Kaltim.
Dari sana, akan diketahui apa langkah-langkah yang harus segera dilakukan. Dan apa langkah-langkah yang bisa menunggu sesuai skala prioritas.
“Ini yang menurut saya menjadi urgent (penting), untuk memastikan analisis, dan dikaji lagi dari sisi teknis dan sosial dan lingkungan lalu apa tindakannya,” jelasnya.
Kenapa hal itu perlu segera dilakukan, juga karena tidak semua lubang yang ada di desa desa itu aktif, perusahaannya. Ada pula yang sudah berhenti beroperasi.
“Nah itu bagaimana soslusinya. Kalau masih aktif bisa dikejar ke pemegang IUP,” katanya.(rs)
SAMARINDA - Kaltim memasuki fase kritis soal dampak ancaman dari kegiatan eksplorasi pertambangan, khususnya batubara. Ungkapan ini terlontar setelah ada 32 orang meninggal di lubang bekas galian tambang. Belum lagi dampak lainnya, Desa Mulawarman yang nyaris ditinggalkan penduduknya. Nyatanya ancaman tak berhenti pada dua bahaya itu.
Ancaman yang jelas terjadi baru-baru ini, longsor di Kecamatan Sangasanga Kabupaten Kutai Kartanegara. Ternyata di Kaltim masih ada ratusan desa yang mengalami ancaman serupa.
Berdasarkan riset dari Pemerhati Lingkungan Niel Makinudin bersama The Nature Conservancy (TNC) Kaltim ditemukan fakta setidaknya ada 224 desa, dari total 841 desa di Kaltim yang masuk dalam kategori beresiko tinggi. Angka ini ditenukan setelah ditemukan adanya kegiatan pertambangan yang berada tidak jauh dari lokasi pemukiman warga.
“Ini seolah kita sedang duduk menunggu giliran saja. Anak siapa berikutnya ini. Hidup atau mati,” ujar Niel kepada Koran Kaltim, kemarin.
Dari 224 desa tersebut, secara umum paling banyak berada di kawasan Kabupaten Kutai Kartanegara.
Karena berdasarkan catatannya, diketahui hampir 600 izin usaha pertambangan terdapat di Kukar.
“Ini baru yang di desa, belum yang kelurahan di perkotaan,” paparnya.
Sebagai solusi, Niel menyarankan Pemprov Kaltim segera melakukan audit menyeluruh terhadap semua izin pertambangan tersebut. “Ya, audit terhadap kinerja pertambangan terutama terkait safety kepada masyarakat dan safety kepada lingkungan,” ungkapnya.
Audit ini, kata Niel bisa dilakukan oleh LSM atau perguruan tinggi. Audit dari tim teknis pertambangan dan dari tim sosial. Yang intinya nanti mendiagnosis anatomi dari bisnis pertambangan di Kaltim.
Dari sana, akan diketahui apa langkah-langkah yang harus segera dilakukan. Dan apa langkah-langkah yang bisa menunggu sesuai skala prioritas.
“Ini yang menurut saya menjadi urgent (penting), untuk memastikan analisis, dan dikaji lagi dari sisi teknis dan sosial dan lingkungan lalu apa tindakannya,” jelasnya.
Kenapa hal itu perlu segera dilakukan, juga karena tidak semua lubang yang ada di desa desa itu aktif, perusahaannya. Ada pula yang sudah berhenti beroperasi.
“Nah itu bagaimana soslusinya. Kalau masih aktif bisa dikejar ke pemegang IUP,” katanya.(rs)
Copyright © 2024 - Korankaltim.com
Tunggu sebentar ya. Kami sedang menyiapkannya untukmu.