Kamis, 06/02/2025

Kedaulatan Pangan VS Penurunan Emisi: RUU Perubahan Iklim Buka Jalan Harmonisasi

Kamis, 06/02/2025

Aji Mirni Mawarni

Share
Join Grup Telegram Koran Kaltim untuk mendapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari. Caranya klik link https://t.me/+SsC4jer3I5syZWU1 atau klik tombol dibawah ini.

Grup Telegram Koran Kaltim

kemudian join. Anda harus instal aplikasi Telegram terlebih dahulu di ponsel.

Kedaulatan Pangan VS Penurunan Emisi: RUU Perubahan Iklim Buka Jalan Harmonisasi

Kamis, 06/02/2025

logo

Aji Mirni Mawarni

KORANKALTIM.COM – Pemerintahan yang dipimpin Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka telah mencanangkan kedaulatan pangan dan kedaulatan energi sebagai agenda prioritas nasional. Pada sisi lain, Indonesia terikat komitmen global untuk menurunkan emisi secara signifikan pada tahun 2030 dan mencapai zero-emisi pada tahun 2060. 

Hal ini menjadi tantangan sekaligus peluang yang harus disikapi dengan strategi jangka panjang yang tepat.

Bahasan itu mengemuka dalam Talkshow Ikatan Keluarga Alumni (IKA) Fakultas Arsitektur Lanskap dan Teknologi Lingkungan (FALTL) Universitas Trisakti, bertema ”Regulasi Perubahan Iklim: Dari, oleh, dan untuk Siapa?”, Sabtu (1/2/2025). 

Ketua DPD RI, Sultan Baktiar Najamuddin, mengatakan agenda kedaulatan pangan memiliki beragam konsekuensi. Termasuk pembukaan hutan atau lahan baru untuk pencetakan sawah (ekstensifikasi).

Dalam keynote speech-nya, Sultan berharap pembukaan lahan dilakukan secara selektif, utamanya tidak membuka hutan primer. Karena keberadaan hutan sangat penting dalam proses mengurangi emisi karbon, yang juga menjadi target besar pemerintah RI. 

“Faktanya, agenda penguatan kedaulatan pangan memang terlihat berseberangan atau vis a vis dengan agenda reduksi emisi karbon yang sangat menekankan pelestarian hutan,” terangnya.

Sultan mengakui, konsekuensi ekstensifikasi lahan pertanian yang beriringan dengan komitmen menurunkan emisi bukanlah hal yang mudah. Pasalnya, Indonesia harus memenuhi komitmennya pada dunia. 

Dalam hal ini, terdapat peluang yang terbuka, bila dapat diorkestrasi dengan baik, maka perdagangan karbon bisa menjadi sumber pendapatan yang besar bagi RI.

“Karena itu, perlu dilakukan formulasi strategi yang tepat. Termasuk di antaranya dengan memperkuat pengembangan energi hijau atau Energi Baru Terbarukan (EBT),” akunya.

Penulis buku Green Democracy itu bersyukur bahwa RUU Perubahan Iklim atau Pengelolaan Iklim yang diinisasi DPD RI telah masuk ke dalam agenda prioritas legislasi nasional.

RUU tersebut yang diharapkan dapat menjadi dasar pengendalian perubahan iklim, sekaligus menjembatani agenda-agenda penting nasional. Sultan pun mengharapkan masukan dari para civitas akademika FALTL Usakti, agar RUU Perubahan Iklim bisa semakin kaya sekaligus kian membuka ruang kolaborasi lintas stakeholder dalam tataran implementasinya.  

Senada dengan Sultan, Direktur Pertamina Geothermal Energy, Edwil Suzandi, mengatakan bahwa transisi menuju energi hijau merupakan agenda yang harus dilakukan, seiring menipisnya energi fosil. 

“Pengembangan energi hijau memang membutuhkan waktu, investasi dan dukungan dari negara melalui kebijakan yang kuat,” ungkapnya.

Edwil mengakui, pengembangan EBT di Indonesia masih belum bergulir kencang. Infrastruktur, terutama di area ring of fire (cincin api) sebagai sumber geothermal  masih terbatas. 

“Selama ini, kebijakan pun belum mendukung. Karena itu, RUU Perubahan Iklim yang diinisiasi DPD RI merupakan instrumen hukum yang penting,” ucapnya.

Ke depan, Edwil berharap EBT menjadi penopang utama energi Indonesia. Baik geothermal, microhydro, maupun tenaga surya. Apalagi Indonesia merupakan negara terbesar kedua di dunia yang mengembangkan energi panas bumi. 

Cadangan geothermal RI terdeteksi 24 Giga Watt, sedangkan yang terpasang baru sekitar 2 Giga Watt. Ia optimistis UU Perubahan Iklim akan semakin memperkuat transisi energi dan pengembangan EBT di Indonesia.

“Saya berharap harmonisasi agenda kedaulatan pangan dengan pengurangan emisi bisa diwujudkan dengan kesungguhan memperkuat energi hijau (EBT). Serta mendorong pembukaan lahan untuk ekstensifikasi (cetak sawah baru) perlu dilakukan secara bijak dan hati-hati,” bebernya.

Pemerintah bisa memanfaatkan kawasan eks tambang, eks HPH non produktif, juga lahan gambut. Tentunya dengan treatment serius sebagai prakondisi penanaman. 

Ditegaskannya, RUU Perubahan Iklim merupakan solusi politik yang kuat dalam mengawal agenda hijau strategis jangka panjang Indonesia.

Dampak Positif bagi Pegiat Teknologi

Arfan Arlanda selaku CEO Jejak.in mengatakan sejak 2018 lalu, ia mendirikan perusahaan teknologi yang bergerak di bidang sustainability, termasuk mengurus iklim dan karbon. 

Jejak.in menyediakan jasa menghitung emisi perusahaan (bisnis) menggunakan teknologi dan bisa di-track, membantu carbon project dalam hal akuntabilitasnya melalui proses yang kredibel, hingga melakukan trading part melalui direct trading.

Arfan menilai RUU Perubahan Iklim berdampak sangat positif bagi pegiat teknologi. Utamanya dalam empat hal, pertama integrasi data di mana pemerintah bisa mengatur batas atas emisi dengan harapan data bisa dicapture lebih cepat dan akurat. Kedua, transparansi dan kredibilitas.

“Ketiga meningkatkan potensi kolaborasi, termasuk di ranah publik di luar G to G dan B to B dan keempat monitoring hal-hal yang berhubungan dengan climate,” kata Arfan.

Sementara, Direktur Urban Plus Rahman Andra Wijaya yang merupakan Arsitek Lanskap Kawasan IKN menjelaskan bahwa IKN merupakan contoh tata perencanaan terpadu yang melibatkan banyak sektor keilmuan.

Penegakan regulasi untuk menjadikan kawasan berdampak pada perbaikan ekologi harus berdasarkan pada nature base kawasan tersebut.

“Sehingga penerapan regulasi dapat disesuaikan dengan kondisi daerah masing masing,” terangnya.

Albert Reinaldo  dari Kementerian PU menyampaikan bahwa regulasi yang berkaitan dengan lingkungan hidup sudah cukup banyak, namun masih terkendala dalam pelaksanaan dan implementasinya.

Ia mencotohkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Sampah yang saat ini masih belum bisa diterapkan. 

“RUU Perubahan Iklim diharapkan dapat memperhatikan aspek-aspek kemampuan seluruh stakeholder dalam pelaksanaannya,” harapnya.

Perumnas, Ajie Tambunan memaparkan tentang isu backlog perumahan, berkaitan dengan urbanisasi yang semakin tinggi dari daerah hinterland ke kota besar yang meningkatkan efek polusi. 

“Tantangan besarnya adalah menyediakan rumah yang terjangkau namun ramah lingkungan,” pungkasnya.

Talkshow IKA FALTL ini menghasilkan sejumlah usulan yang akan disampaikan pada Timja Pembahasan RUU Pengelolaan Perubahan Iklim DPD RI. (adv)

Tunggu sebentar ya. Kami sedang menyiapkannya untukmu.