Minggu, 12/01/2025
Minggu, 12/01/2025
Layanan yang berlangsung di BPJS Kesehatan Samarinda. (Foto: Dok.Korankaltim.com)
Minggu, 12/01/2025
Layanan yang berlangsung di BPJS Kesehatan Samarinda. (Foto: Dok.Korankaltim.com)
Penulis: Ainur Rofiah
KORANKALTIM.COM, SAMARINDA - Kepala Cabang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan Samarinda Citra Jaya beberapa waktu lalu menyebut kalau sampai bulan Desember 2024 lalu Pemerintah Kota Samarinda menunggak pembayaran dengan nilai rupiah yang cukup besar.
Total kewajiban yang masih harus dibayarkan untuk 4 persen komponen Tunjangan Profesi Guru (TPG) dan Jasa Medis atau Jasmed (Dinkes) sekitar Rp24 Miliar.
Namun Wali Kota Samarinda Andi Harun membantah kalau pihaknya menunggak pembayaran BPJS Kesehatan tersebut dan nominalnya pun tak seperti yang disebutkan yaitu Rp24 Miliar, melainkan hanya Rp17 Miliar.
“Hanya Rp17 Miliar yang sudah dianggarkan di APBD 2025 ini. Tetapi ada catatan saya pada BPJS Kesehatan yang akan saya bawa ke KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi),” tegas pria yang akrab disapa AH itu kepada Korankaltim.com Minggu (12/1/2025) hari ini.
AH menjelaskan hitungan utang dari BPJS bukan berdasarkan fakta lapangan, tetapi hasil dari prediksi pada awal tahun. Seperti BPJS akan memprediksi penagihan angka kelahiran bayi di 2025 berdasarkan total bayi yang lahir pada 2024 kemarin.
“Mereka mengira-ngira, misalnya anak yang baru lahir di 2024 berapa dan mereka memprediksi di 2025 sekita seribu bayi. Katakanlah satu bayi Rp50 Ribu, kalau ada seribu angka kelahiran jadinya berapa,” paparnya.
“Saat prediksi itu keluar kami langsung tercacat berhutang dengan BPJS Kesehatan, padahal bayinya saja belum ada,” tegas AH lagi.
Hal inilah yang menurutnya perlu kehati-hatian. Dirinya menginginkan jumlah yang ditagihkan pada pemkot harus sesuai dengan jumlah bayi yang lahir.
“Ini yang mau kami diskusikan dengan KPK. Kami mau minta arahan dari KPK, melalui Korsupgah (Koordinasi dan Supervisi, Pencegahan Korupsi) Wilayah IV karen luar biasa pemerintah kota bisa berhutang tanpa tahu mereka punya hutang,” ucap AH.
Tagihan yang tiba-tiba datang ke Pemkot Samarinda ini membuatnya keheranan. Sebab AH meyakini masalah ini juga menjadi keluhan pemda se-Indonesia karena cukup membebani fiskal berkenaan dengan pajak atau pendapatan daerah.
“Saya sudah sampaikan sebelumnya pemkot tidak bisa bayar di 2024 jadi tunggu saja di 2025,” jelas AH.
Tak hanya BPJS Kesehatan, hal serupa juga dilakukan dengan BPJS Ketenagakerjaan yang secara tiba-tiba melakukan penagihan yang diakibatkan oleh penambahan kesejahteraan bagi pegawai pemkot.
“Misalnya pegawai A dapat gaji dan TPP (Tambahan Penghasilan Pegawai) sudah ada BPJS-nya. Pokoknya semua unsur pendapatan ASN itu dikenai BPJS kalau tidak salah sekitar 5 persen. Ini bahaya, kedepannya bagaimana?” kata AH dengan nada heran.
Padahal TPP bertujuan untuk mensejahterakan pegawai tapi kalau juga diwajibkan masuk ke BPJS 5 persen yang sudah ditanggung pemkot maka dia yakinkan daerah dengan APBD yang kecil tidak akan sanggup.
“Menurut saya perlu kajian mendalam lagi, dan kami tidak bisa putuskan sendiri. Kami akan coba konsultasi dengan KPK, apakah model seperti ini sudah benar menurut hukum yang benar. Daripada berspekulasi, berdebat dan tidak ada ujung pangkalnya saya memilih menggunakan saluran-saluran resmi diantaranya KPK, Kemendagri (Kementerian Dalam Negeri) termasuk BPK (Badan Pemeriksa Keuangan),” lanjutnya.
Pasalnya, apabila pemda menolak untuk membayar kata AH, pihak BPJS akan langsung memotong dari Dana Alokasi Umum (DAU) dari pusat.
“Jadi mereka mengancam melaporkan ke Kemendagri dan Kemenkeu untuk memotong DAU dan DAK. Maksud saya ayo bicarakan baik-baik, kalau begitu kan caranya tidak elegan dan tidak fair,” pungkas AH.
Editor: Aspian Nur
Tunggu sebentar ya. Kami sedang menyiapkannya untukmu.