Minggu, 15/12/2019

Puluhan Tahun Menjaga Hutan, Dayak Wehea Butuh Pengakuan

Minggu, 15/12/2019

Ketua Lembaga Adat Desa Bea Nehas, Ledjie Be Leang Song (Foto: Zulhamri/KoranKaltim.Com)

Join Grup Telegram Koran Kaltim untuk mendapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari. Caranya klik link https://t.me/+SsC4jer3I5syZWU1 atau klik tombol dibawah ini.

Grup Telegram Koran Kaltim

kemudian join. Anda harus instal aplikasi Telegram terlebih dahulu di ponsel.

Berita Terkait

Puluhan Tahun Menjaga Hutan, Dayak Wehea Butuh Pengakuan

Minggu, 15/12/2019

logo

Ketua Lembaga Adat Desa Bea Nehas, Ledjie Be Leang Song (Foto: Zulhamri/KoranKaltim.Com)

KORANKALTIM.COM, SANGATTA - Wehea merupakan nama dari anak suku dayak. Meski selama ini Wehea lebih dikenal sebagai kawasan hutan lindung di pedalaman Kutai Timur yang memiliki budaya sangat kental. 

Bahkan ada 36 ritual yang dilakukan masyarakat adat yang dilakukan setahun penuh di kawasan tersebut. Diantaranya ritual pesta panen atau hudoq, erau, ritual kematian dan sebagainya.

Ritual adat pun tidak sembarangan hari dan bulan. Pasalnya, diyakini berdampak pada kematian. Sehingga ritual tersebut hanya bisa dilaksanakan pada waktu tertentu yang mengikuti rotasi pergerakan bulan.

Selain itu, masyarakat Wehea juga menginginkan agar legalitas suku Dayak Wehea segera ditetapkan melalui peraturan daerah oleh Pemerintah Kabupaten Kutai Timur. Pengurusan legalitas tersebut sudah ditembuskan ke kementrian hingga provinsi.

Bahkan sejak 1960, masyarakat di sana sudah menjaga hutan lindung di Desa Bea Nehas Kecamatan Muara Wahau. Bea Nehas pun terpilih sebagai salah satu dari delapan belas kecamatan dan desa di Kutim dalam Program Kampung  Pro Iklim (Proklim) plus dalam rangka penurunan emisi karbon.

Program itu digagas Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang bekerja sama dengan Forest Carbon Partnership Facility Carbon Fund (FCPF CP).

Ketua Lembaga Adat Desa Bea Nehas, Ledjie Be Leang Song mengatakan desa tersebut memiliki dua kawasan hutan  yaitu Hutan Adat Long Sekun Miq Kuen dengan luas 38 ribu hektare dan Hutan Lindung Adat Tlan Long Shu dengan luas kurang lebih 100 ribu hektare.

Tanah adat semula 841 ribu hektare yang terbagi dari perkebunan sawit, pemukiman penduduk, ladang dan kebun masyarakat.

"Awalnya hutan lindung adat seluas 841 ribu hektar,  karena sebelumnya sudah terbagi, akhirnya tersisa 100 ribu hektare dan 83 ribu hektare lainnya sudah kita jaga sejak tahun 1960," katanya, Minggu (15/12/2019).

Menurutnya pada tahun 1960 silam kedua kawasan hutan tersebut sudah dipertahankan dari berbagai macam ancaman agar tidak tergerus. Termasuk menjaga flora dan faunanya.

Dia melanjutkan, untuk hutan adat masih bisa mengambil hasil yang ada di dalam hutan. "Sedangkan untuk hutan lindung adat sama sekali tidak boleh, sampai saat ini masih kita jaga dan pertahankan," lanjutnya.

Desa Bea Nehas selain memiliki tutupan hutan yg luas dan stok carbon yang tinggi, juga keberadaan masyarakat adat Wehea yg masih menjaga kearifan lokal dan wisata alam seperti air terjun.

"Wisata air terjun ada dua lokasi yang jarang diketahui. Kawasan yang masih asri namun karena aksesnya belum begitu bagus sehingga ketika musim penghujan sulit dilalui," sebutnya.


Penulis : Zulhamri

Editor : Hendra



Puluhan Tahun Menjaga Hutan, Dayak Wehea Butuh Pengakuan

Minggu, 15/12/2019

Ketua Lembaga Adat Desa Bea Nehas, Ledjie Be Leang Song (Foto: Zulhamri/KoranKaltim.Com)

Berita Terkait


Puluhan Tahun Menjaga Hutan, Dayak Wehea Butuh Pengakuan

Ketua Lembaga Adat Desa Bea Nehas, Ledjie Be Leang Song (Foto: Zulhamri/KoranKaltim.Com)

KORANKALTIM.COM, SANGATTA - Wehea merupakan nama dari anak suku dayak. Meski selama ini Wehea lebih dikenal sebagai kawasan hutan lindung di pedalaman Kutai Timur yang memiliki budaya sangat kental. 

Bahkan ada 36 ritual yang dilakukan masyarakat adat yang dilakukan setahun penuh di kawasan tersebut. Diantaranya ritual pesta panen atau hudoq, erau, ritual kematian dan sebagainya.

Ritual adat pun tidak sembarangan hari dan bulan. Pasalnya, diyakini berdampak pada kematian. Sehingga ritual tersebut hanya bisa dilaksanakan pada waktu tertentu yang mengikuti rotasi pergerakan bulan.

Selain itu, masyarakat Wehea juga menginginkan agar legalitas suku Dayak Wehea segera ditetapkan melalui peraturan daerah oleh Pemerintah Kabupaten Kutai Timur. Pengurusan legalitas tersebut sudah ditembuskan ke kementrian hingga provinsi.

Bahkan sejak 1960, masyarakat di sana sudah menjaga hutan lindung di Desa Bea Nehas Kecamatan Muara Wahau. Bea Nehas pun terpilih sebagai salah satu dari delapan belas kecamatan dan desa di Kutim dalam Program Kampung  Pro Iklim (Proklim) plus dalam rangka penurunan emisi karbon.

Program itu digagas Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang bekerja sama dengan Forest Carbon Partnership Facility Carbon Fund (FCPF CP).

Ketua Lembaga Adat Desa Bea Nehas, Ledjie Be Leang Song mengatakan desa tersebut memiliki dua kawasan hutan  yaitu Hutan Adat Long Sekun Miq Kuen dengan luas 38 ribu hektare dan Hutan Lindung Adat Tlan Long Shu dengan luas kurang lebih 100 ribu hektare.

Tanah adat semula 841 ribu hektare yang terbagi dari perkebunan sawit, pemukiman penduduk, ladang dan kebun masyarakat.

"Awalnya hutan lindung adat seluas 841 ribu hektar,  karena sebelumnya sudah terbagi, akhirnya tersisa 100 ribu hektare dan 83 ribu hektare lainnya sudah kita jaga sejak tahun 1960," katanya, Minggu (15/12/2019).

Menurutnya pada tahun 1960 silam kedua kawasan hutan tersebut sudah dipertahankan dari berbagai macam ancaman agar tidak tergerus. Termasuk menjaga flora dan faunanya.

Dia melanjutkan, untuk hutan adat masih bisa mengambil hasil yang ada di dalam hutan. "Sedangkan untuk hutan lindung adat sama sekali tidak boleh, sampai saat ini masih kita jaga dan pertahankan," lanjutnya.

Desa Bea Nehas selain memiliki tutupan hutan yg luas dan stok carbon yang tinggi, juga keberadaan masyarakat adat Wehea yg masih menjaga kearifan lokal dan wisata alam seperti air terjun.

"Wisata air terjun ada dua lokasi yang jarang diketahui. Kawasan yang masih asri namun karena aksesnya belum begitu bagus sehingga ketika musim penghujan sulit dilalui," sebutnya.


Penulis : Zulhamri

Editor : Hendra



 

Berita Terkait

Lokasi CFD Tenggarong Pindah Besok Pagi, SK2 Bakal Bagikan 200 Sapoh untuk Para Pedagang

Pj Gubernur Kaltim Pantau Banjir di Mahulu, Penyaluran Listrik, Bantuan Pangan dan Air Bersih jadi Prioritas Awal

Dukung Gerakan Literasi Desa, Paser Terima Mobil Pusling diJakarta

Warga RT 13 Kelurahan Baru, Tenggarong Berembuk Manfaatkan Dana Rp50 Juta

Setelah Balikpapan, Dinkes Kaltim Siap Vaksinasi Lima Ribu Anak di Kota Samarinda

Dinsos Kaltim Kirim 1.500 Paket ke Mahulu, Kemensos RI juga Segera Beri Bantuan

Ribuan Orang Hadiri Tabligh Akbar Ustaz Abdul Somad di Masjid Al Qadar Tenggarong Siang Tadi

Kecamatan Tabang Diterjang Banjir Imbas Hujan di Hulu Sungai Belayan, BPBD Kukar Turunkan Tim Pantau Potensi Banjir Kiriman dari Mahulu

Hendak Menyeberang Jalan Saat Banjir di Mahulu, Karyawan Warung PHP Sebenaq Meninggal Dunia Pagi Tadi

Aktivitas Warga di Ibu Kota Mahulu Mulai Normal Setelah Sempat Diterjang Banjir

Kerap Mencuri di Rumah Kosong, Warga Perum Handil Kopi Sambutan Diciduk Polisi

Pabrik Smelter di Sangasanga Kembali Terbakar, Tiga Orang Alami Luka-Luka

Proyek Peningkatan Sistem Drainase Perkotaan di Tanjung Redeb Habiskan Anggaran Rp23,7 Miliar

Pengembangan Lahan Kakao Berau Baru 500 Hektare, Kelompok Tani Diminta Tak Alih Fungsikan Lahan

Ketergantungan Kaltim pada Sektor Pertambangan jadi Sorotan

Petani Kakao di Berau Diminta Bermitra dengan Perusahaan

Libatkan 14 Perusahaan, Disnaker Samarinda Buka Job Fair Pekan Depan

Aplikasi Perjalanan Dinas Dikritisi Anggota DPRD Samarinda, Sebut Jalan-Jalan untuk Adopsi Tata Kota

Copyright © 2024 - Korankaltim.com

Tunggu sebentar ya. Kami sedang menyiapkannya untukmu.