Jumat, 03/01/2025
Jumat, 03/01/2025
Gedung Mahkamah Konstitusi di jalan Merdeka Barat, Jakarta. (FotoAntara)
Jumat, 03/01/2025
Gedung Mahkamah Konstitusi di jalan Merdeka Barat, Jakarta. (FotoAntara)
KORANKALTIM.COM – Mahkamah Konstitusi (MK) menghapus ketentuan ambang batas minimal persentase pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden atau presidential threshold karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Presidential threshold terdapat pada Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
“Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” ucap Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Suhartoyo saat membacakan amar putusan Nomor 62/PUU-XXII/2024 sesuai yang dikutip dari Antaranews, Jumat (3/1/2025).
Dalam pertimbangan putusannya, Wakil Ketua MK Saldi Isra beberkan berdasarkan risalah pembahasan Pasal 6A ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu merupakan hak konstitusional yang dimiliki oleh partai politik tersebut.
Dalam hal ini, MK menilai bahwa upaya untuk menyederhanakan jumlah partai politik dengan menggunakan hasil pemilu legislatif sebelumnya sebagai dasar untuk menentukan hak partai dalam mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden justru menciptakan ketidakadilan.
Saldi Isra menambahkan, dengan menerapkan hasil pemilu legislatif sebelumnya, partai politik baru yang lolos sebagai peserta pemilu secara otomatis kehilangan hak konstitusionalnya untuk mengusulkan calon presiden dan wakil presiden.
Penerapan ambang batas presidential threshold yang diatur dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 telah menutup hak partai politik peserta pemilu yang tidak memperoleh persentase suara sah atau jumlah kursi DPR yang signifikan dalam pemilu sebelumnya, sehingga menghalangi mereka untuk mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Di sisi lain, penetapan besaran atau persentasenya dinilai tidak didasarkan pada penghitungan yang jelas dengan rasionalitas yang kuat.
“Dalam konteks itu, sulit bagi partai politik yang merumuskan besaran atau persentase ambang batas untuk dinilai tidak memiliki benturan kepentingan,” terangnya.
Mahkamah mencatat bahwa dinamika politik Indonesia cenderung mengarah pada dua pasangan calon presiden dan wakil presiden dalam setiap pemilu. Kondisi ini berpotensi menambah polarisasi di masyarakat, yang bisa membahayakan persatuan bangsa jika tidak dikelola dengan baik.
Meskipun pemilu presiden diadakan bersamaan dengan pemilu legislatif, Mahkamah menekankan bahwa mandat rakyat untuk pemilu presiden seharusnya diberikan secara terpisah dari pemilu legislatif.
MK berpendapat bahwa penggunaan hasil pemilu legislatif untuk menetapkan presidential threshold memaksakan logika sistem parlementer dalam kerangka sistem presidensial Indonesia.
Oleh karena itu, ketentuan presidential threshold dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tidak hanya bertentangan dengan hak politik dan kedaulatan rakyat, tetapi juga melanggar prinsip-prinsip moralitas, rasionalitas, dan keadilan yang tidak dapat diterima.
“Sehingga terdapat alasan kuat dan mendasar bagi Mahkamah untuk bergeser dari pendirian dalam putusan-putusan sebelumnya. Pergeseran pendirian tersebut tidak hanya menyangkut besaran atau angka persentase ambang batas, tetapi yang jauh lebih mendasar adalah rezim ambang batas pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden berapa pun besaran atau angka persentasenva adalah bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) UUD NRI Tahun 1945,” jelasnya.
Editor : Erwin
Jumat, 03/01/2025
Gedung Mahkamah Konstitusi di jalan Merdeka Barat, Jakarta. (FotoAntara)
TERPOPULER
Tunggu sebentar ya. Kami sedang menyiapkannya untukmu.