Selasa, 21/01/2020
Selasa, 21/01/2020
Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Kaltim, Wahyu Widhi
Selasa, 21/01/2020
Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Kaltim, Wahyu Widhi
KORANKALTIM.COM, SAMARINDA – Aktivitas galian tambang di sekitar Bendungan Benanga Lempake, Samarinda Utara diduga kuat menambah resiko banjir. Hal ini juga yang disebut mempengaruhi tingginya air banjir yang terjadi awal Januari lalu.
Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Kaltim, Wahyu Widhi Heranata mengakui keberadaan beberapa lubang tambang di kawasan Benanga Lempake tersebut. “Ada sekitar tiga atau empat lubang. Tidak hanya yang berizin, ada juga yang ilegal. Kalau yang ilegal bukan ranah kami,” ujar Didit, sapaan akrab Wahyu Widhi Heranata kemarin.
Untuk lubang tambang milik pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP), pihaknya mengaku akan segera melakukan penertiban. Namun, untuk yang ilegal, maka diserahkan ke pihak Kepolisian.
Meski mengakui adanya aktivitas tambang, namun Didit menyatakan tambang bukan satu-satunya penyebab debit air Bendungan Benanga Lempake meluap, hingga mencapai 90 centimeter. Bahkan ia mengungkapkan tidak ada aliran air kolam tambang masuk ke Benanga saat terjadi bencana banjir di Samarinda pada 12 sampai 16 Januari 2020 lalu. “Memang ada tambang, tapi tidak ada aliran masuk ke Benanga. Kami sudah investigasi. Kami juga sudah lapor ke Wagub (Wakil Gubernur Hadi Mulyadi),” ungkapnya.
Didit membantah kabar yang beredar bahwa kenaikan tinggi muka air hingga 90 centimeter di Bendungan Benanga akibat limpahan air kolam tambang. “Ada dugaan air limpahannya ke Benanga. Ternyata bukan,” ujar Didit lagi.
Terpisah, Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim, Pradarma Rupang membenarkan adanya aktivitas tambang di kawasan Bendungan Benanga Lempake. Catatan Jatam, setidaknya ada 20 lebih perusahaan tambang batu bara yang kini beroperasi di sekitar bendungan itu. “Memang ada sekitar 20-an perusahaan tambang. Dan kebanyakan ilegal yang beroperasi di sana. Ilegal ini yang jelas memperparah karena mereka tidak melakukan pemulihan setelah ada aktivitas pertambangan. Tidak mengherankan hal ini terjadi, karena sulit membedakan legal dan tidak di sana,” jelas Rupang. (*)
Penulis: */Rusdianto
Editor: Aspian Nur
Tunggu sebentar ya. Kami sedang menyiapkannya untukmu.