Senin, 16/12/2019
Senin, 16/12/2019
Djumriah Lina Johan
Senin, 16/12/2019
Djumriah Lina Johan
Oleh : Djumriah
Lina Johan
(Praktisi
Pendidikan dan Pemerhati Sosial Ekonomi Islam)
Keseriusan Balikpapan menggarap proyek desalinasi sebagai solusi memenuhi
kebutuhan sumber air baku mulai terlihat. Hal ini berdasarkan gelaran market sounding di kantor PDAM Tirta
Manggar, Kamis (28/11). Dimana direksi PDAM mengundang total 19 investor baik dalam dan luar negeri
seperti Singapura dan Korea Selatan. Dirut PDAM Haidir Effendi menawarkan secara
terbuka kepada investor untuk terlibat dalam proyek tersebut. “Kami tawarkan, mereka yang datang ini
mau tahu dulu, bisa atau tidak, minat-tidak investasi di Balikpapan,” imbuhnya.
Dia juga meyakinkan investor bahwa jangka investasi hingga 25 tahun
ini aman dan air laku terjual. Prediksi investasi desalinasi air
laut ini memakan biaya Rp 150 miliar. Mereka yang produksi air laut, kemudian
menjual ke masyarakat harus melalui BUMN atau BUMD sebagai pengendali harga.
Investor tidak boleh mengecer langsung. Namun tetap nanti ada harga jual yang
disepakati bersama.
Desalinasi air laut ini memiliki target
konsumen segmen
menengah ke atas. Tepatnya lebih banyak ke industri. Area market air dari hasil
desalinasi adakah sekitar Jalan Jenderal Sudirman hingga Bandara Sultan Aji
Muhammad Sulaiman (SAMS) Sepinggan. “Jadi sasaran untuk industri seperti hotel, mal, bandara,” pungkasnya.
(Kaltim.prokal.co, Minggu, 1/12/2019)
Gencarnya upaya pemerintah Kota Balikpapan untuk mengatasi
permasalahan kebutuhan air patut diacungi jempol. Apalagi melihat jumlah
investor yang diundang tidak bisa dibilang sedikit. Tentu, hal ini bisa
diibaratkan oase di tengah gurun. Sebuah solusi praktis untuk menyelesaikan
problem air di Kota Minyak yang selama ini masih menjadi PR bagi Pemerintah.
Namun, sejatinya upaya tersebut tidak akan memberikan
angin segar kepada masyarakat secara keseluruhan justru akan menempatkan
masyarakat ke dalam jurang tak berdasar. Sebab, adanya investor yang turut campur
mengurusi air baku akan menghantarkan pada liberalisasi air yang berujung pada
komersialisasi air.
Tentu saja ini sangat berbahaya bagi masyarakat. Air
yang merupakan hajat hidup orang banyak akan menjadi sulit terjangkau bagi
masyarakat menengah ke bawah sebab harganya mahal. Padahal rakyat sudah cukup
terbebani dengan naiknya tarif dasar listrik dan iuran BPJS serta biaya
kebutuhan hidup yang lain. Tidak perlu lagi ditambah dengan upaya
meliberalisasi air.
Inilah watak asli dari sistem kapitalisme sekuler.
Sistem yang menjadikan keuntungan materi sebagai tolok ukur perbuatan. Semua
diukur dengan untung rugi. Bukan dengan tolok ukur Islam dan ridha Allah swt.
Akhirnya rakyat menjadi korban keserakahan para pemilik modal dan penguasa yang
berselingkuh dengannya.
Berbeda dengan Islam, Islam memandang pengelolaan air
baku mulai dari pengeboran sumur hingga desalinasi merupakan kewajiban negara.
Sebagaimana sabda Rasul saw ”Imam adalah
ibarat penggembala dan hanya dialah yang bertanggungjawab terhadap gembalaannya (rakyatnya)” (HR. Muslim)
Dalam hadis tersebut kata Imam bermakna pemimpin. Sehingga seorang
pemimpin wajib untuk bertanggungjawab mengurusi rakyatnya bukan malah
menyerahkan kepengurusan itu kepada pihak swasta.
Rasulullah saw juga bersabda, ”Kaum
muslimin berserikat dalam tiga perkara, yaitu padang rumput/hutan, air dan api” (HR. Abu Dawud)
Hadis di atas bermakna bahwa air adalah milik rakyat, milik umum, dan
milik kaum muslimin. Sehingga haram hukumnya menyerahkan pengelolaan harta
publik tersebut kepada investor. Islam memerintahkan negara untuk mengelola
harta publik dan memenuhi layanan publik tanpa boleh mengambil untung
sedikitpun.
Hal ini pernah dicontohkan oleh kekhilafahan Abbasiyah
yang tercatat di dalam tinta emas sejarah peradaban Islam. Di Arab Saudi, tepatnya di Wadi Nu’man, Mekah, terdapat sebuah peninggalan bersejarah
berupa mata air yang bernama
mata air Zubaidah.
Mata
air ini dibangun oleh istri Khalifah Harun Al-Rasyid yang bernama Zubaidah. Berawal dari Zubaidah yang pergi melakukan perjalanan
haji dari Baghdad menuju Mekah. Kala itu, Mekah sedang mengalami krisis kekurangan
air untuk minum jamaah
haji. Air sulit dicari dan harganya pun tak bisa dijangkau oleh jamaah haji yang sedang membutuhkan
minum. Melihat kondisi tersebut, Zubaidah berinisiatif untuk membuat proyek
besar yakni membangun saluran air yang sumbernya diambil dari Wadi Nu’man (Lembah Nu’man) yang kemudian dialirkan ke
tempat-tempat jamaah
haji di Mekah, Arafat, Mina dan Muzdalifah.
Di saat belum
ada listrik atau alat yang bisa dimanfaatkan sebagai pembangkit air, Zubaidah memanfaatkan tenaga kuda
untuk menarik air dari Wadi Nu’man
lalu dialirkan ke saluran di mana jemaah haji berada.
Inilah sedikit
gambaran bagaimana Islam mampu menyelesaikan permasalahan kekurangan air.
Negara memfasilitasi untuk melakukan penelitian mencari penyebab kekurangan
air. Jikalau ternyata memang dibutuhkan upaya desalinasi, maka negara yang akan
membiayai semua kegiatan tersebut mulai dari penelitian hingga distribusi ke
rumah-rumah warga.
Pembiayaan
tersebut diambil dari Baitul Mal yang bersumber dari fai’, kharaj, harta milik
umum, maupun shadaqah. Sehingga tidak dibutuhkan pendanaan dari investor dalam
maupun luar negeri. Kedaulatan negara pun terjamin karena tidak terikat dengan
utang berbentuk investasi.
Oleh karena itu,
kembalilah kepada Islam. Jadikan Islam sebagai pedoman hidup berbangsa dan
bernegara serta bermasyarakat, maka dijamin kehidupan rakyat di negeri ini akan
diberkahi dan diridhai Allah swt. Wallahu a’alam bish shawab.
Tunggu sebentar ya. Kami sedang menyiapkannya untukmu.