Rabu, 10/01/2018
Rabu, 10/01/2018
Sosialisasi KLB Difteri di Ruang Meranti, Kantor BUpati Ku8tim, di kompleks Perkantoran Bukit Pelangi, Sangatta, Rabu (10/1).
Rabu, 10/01/2018
Sosialisasi KLB Difteri di Ruang Meranti, Kantor BUpati Ku8tim, di kompleks Perkantoran Bukit Pelangi, Sangatta, Rabu (10/1).
SANGATTA – Munculnya penyakit Difteri yang ditemukan 3 pasien di Sangatta, Kutim, tentu saja membuat masyarakat harus waspada akan penyakit menular tersebut. Pasalnya, Difteri sudah termasuk dalam Kejadian Luar Biasa (KLB) di Kutim.
Dengan begitu Pemkab Kutim melakukan upaya agar penyakit tersebut tidak mewabah dengan menggelar vaksinasi massal terhadap anak-anak usia 0-19 tahun. Namun sebelum melakukan itu, Pemkab Kutim melalui Dinas Kesehatan (Dinkes) Kutim melakukan sosialisasi pertama kepada para guru dan petugas posyandu, Rabu (10/1), kemarin.
Difteri sendiri merupakan penyakit yang delapan tahun silam menghilang di indonesia. Kasus difteri banyak didapati dari pasein yang tidak melengkapi imunisasi pada usia balita. Namun sayangnya penyakit tersebut banyak dianggap sepele oleh sebagian orang. Selain itu, kurangnya pengetahuan oleh orang tua anak juga mempengaruhi. Alhasil, penyebaran penyakit tersebut tentu saja cepat terjadi apa bila tidak segera diobati.
Dikatakan Kepala Dinkes Kutim, Bahrani Hasanal, meski sampai dengan saat ini MUI belum mengeluarkan label halal, namun MUI juga tidak menyatakan imunisasi memiliki kandungan haram. Saat ini banyak anggapan akan imunisasi tersebut tidak diwajibkan, parahnya malah dianggap haram. “Ketidakpercayaan orang tua tersebut diprediksi menjadi salah satu kendala pemberantasan difteri,” terangnya.
Narasumber kegiatan tersebut, Dr Remi Wary mengatakan, tiga daerah yang ditemukan sangat tinggi penderita difteri, yakni Aceh, Banten dan Jawa Timur. Hal tersebut dikarenakan cakupan imunisasinya dibawah cakupan nasional. Daerah menjadi kebal dan tidak dihinggapi virus, jika daerah memiliki cakupan imunisasi masyarakatnya lebih dari delapan puluh persen.
“Dari laporan Tempo pada 7 Desember, penderita defteri 66% diderita oleh pasein yang tidak diimunisasi, 33% pada pasein yang imunisasinya tidak lengkap, dan 1 % pada pasein yang sudah memenuhi keseluruhan imunisasi,” ujarnya.
Untuk diketahui, imunisasi di Indonesia telah dilakukan sejak tahun 1977, yang menjadi bukti program imunisasi bermanfaat adalah jika cakupan imunisasi meningkat, jumlah wabah dan sakit berat menurun sedangkan jika cakupan imunisasi menurun, wabah dan penyakit meningkat. (yul1116)
Tunggu sebentar ya. Kami sedang menyiapkannya untukmu.