Rabu, 13/12/2017
Rabu, 13/12/2017
Rabu, 13/12/2017
BONTANG – Pembatasan akses antara pria dan wanita di sebuah pondok pesantren merupakan kebijakan internal yayasan. Termasuk, akses oleh pimpinan, pengurus hingga para pengajar. Namun, setiap pesantren didirikan dengan tujuan pembinaan karakter, dengan basis agama islam. Sehingga, akan melahirkan santri berakhlak muliah.
Kasi Pendidikan Islam (Pendis) Kementerian Agama (Kemenag)Bontang, Tasnim Muin menjelaskan, hingga saat ini, Kemenag mencatat ada 6 pondok pesantren berdiri di Kota Bontang. Diantaranya seperti Pesantren Subulana, Nurul Iman, Hidayatullah, Al Ma`rifah, Darul Quro` Wal Hijrah dan NM.
“Umumnya pesantren menerapkan pemisahkan antara santri putra-putri, termasuk akses antara santri putri dengan guru, atau pengurus pria,” jelasnya.
Demikian pula dengan Pondok Pesantren NM. Kabar yang diterima, mekanisme pemisahan antara santri putra-putri sudah diterapkan. Namun, perihal akses pengurus yayasan pria dengan santri putri, belum diketahui pasti.
“Apalagi kan tempat itu terbagi dua. Yaitu panti asuhan dan pesantren. Jadi, aturan yang umumnya berlaku bagi pesantren, bisa saja berbeda dengan panti. Dan itu merupakan kebijakan internal,” tuturnya.
Hanya saja, ketika mengacu pada tujuan pendirian pesantren, semestinya setiap yayasan menerapkan mekanisme yang menutup peluang aksi negatif. Salah satunya, membatasi akses antara pria dengan wanita.
Diterangkan, untuk membangun pondok pesantren, wajib memenuhi sejumlah ketentuan. Di antaranya memiliki lahan atas nama yayasan, memiliki badan hukum, memiliki minimal 15 santri, memiliki ustaz dan ustazah, memiliki kurikulum, mengurus izin operasional, dan minimal telah beroperasi 2 tahun untuk bisa memperoleh akreditasi dari Kemenag dan Kementerian Pendidikan Republik Indonesia. (kb)
Tunggu sebentar ya. Kami sedang menyiapkannya untukmu.